International Coaching Federation ( ICF ) mendefinisikan coaching sebagai partnering with clients in a thought provoking process that inspires them to maximize their personal and professional potential.
Dari definisi yang diberikan oleh ICF, bisa disimpulkan bahwasanya coaching merupakan sebuah proses berpikir mendalam antara coach dan klien yang akan membantu klien mendapatkan inspirasi ataupun jawaban untuk memaksimalkan potensi klien baik secara personal maupun professional
Dengan kata lain, dalam sesi coaching, coach bermitra dengan klien sebagai thinking partner ( partner berpikir ) yang mendalam. Coach memfasilitasi, memprovokasi, berkomunikasi sedemikian rupa membantu klien menemukan jawaban atas agenda/topik coaching yang dibawakan oleh klien dalam sebuah sesi coaching
Sering kali dalam menjalani perannya, coach akan menemui kesulitan, hambatan maupun tantangan sendiri. Misalnya saja ketika menghadapi situasi-situasi dalam sesi coaching yang ‘tidak biasa’, dari klien yang ‘tidak biasa’, topik yang ‘tidak biasa’ atau pun emosi yang ‘tidak biasa’ yang muncul baik dari client maupun coach sendiri dikarenakan sesi coaching.
Lalu, kepada siapa coach perlu untuk mendiskusikan kesulitan, tantangan ataupun masalah yang terjadi dalam sesi coaching?
Dalam salah satu kompetensi International Coaching Federation ( ICF ), pada kompetensi yang kedua mengenai Embodies a coaching mindset, ada sub kompetensi atau kompetensi turunan dari kompetensi mayor ICF yang menyebutkan tentang pembelajaran dan pengembangan secara kontinu sebagai seorang coach dan perlunya mencari bantuan dari sumber yang lain apabila dibutuhkan
Bantuan dan sumber-sumber lain tentu saja berkenaan bukan hanya yang berkaitan dengan klien, tapi juga dengan coach secara pribadi. Misalnya saja, saat coach bingung menangani kontrak coaching yang berhubungan dengan berbagai macam pihak sponsor. Ada pula ketika coach berhadapan dengan emosi klien yang membuat coach tidak nyaman.
Ketika coach berhadapan dengan situasi seperti di atas, dengan siapa coach akan meminta bantuan, sesama coach, mentor atau coach supervisor?
Mentoring dan coaching supervision
Pada dasarnya coach yang terafiliasi dengan ICF akan mendapatkan mentoring selama minimal 10 jam. Mentoring ini dibutuhkan saat coach yang bersangkutan ingin mendapatkan kredensial dari ICF seperti ACC, PCC maupun MCC
Mentoring pada dasarnya membantu coach untuk mampu mendemonstrasikan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk memperoleh kredensial ICF. Mentor coach akan membimbing dengan jalan menunjukkan, memberi pengarahan apa-apa saja yang perlu dilakukan oleh coach terkait dengan skill dan kompetensi coaching yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria-kriteria kredensial ICF.
Sementara coaching supervision lebih mengutamakan refleksi atas sesi coaching, situasi/peristiwa yang terjadi dalam coaching, apa pun menyangkut klien dan pekerjaan sebagai seorang coach.
Alih-alih memfokuskan hanya pada kompentensi ICF, coaching supervision memiliki ranah yang lebih luas.
Proctor model dari coaching supervisi diterbitkan di tahun 1987. Model kerangka Proctor merupakan model supervisi yang paling sering digunakan dalam supervisi, terutama supervisi klinis. Lalu model tersebut diadopsi dan digunakan pula dalam coaching supervision.
Ada tiga aspek yang merupakan ranah dari coaching supervision :
- Normative : standard profesional dan etika seorang coach
- Formative : ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan seorang coach
- Restorative : Well-being seorang coach yakni yang berkaitan dengan kesehatan emosional seorang coach
Sebagai ringkasan, berikut ini adalah fungsi dan peran coaching supervision buat coach :
Coaching Supervision merupakan praktek refleksi buat coach
Seperti yang telah disebutkan di atas, berbeda dengan mentoring, coaching supervision tidak terpaku pada kompetensi-kompetensi ICF. Namun lebih sebagai refleksi coach untuk melihat pekerjaannya sebagai coach dalam interaksinya dengan klien.
Lalu apa bedanya dengan coaching?
Dalam sesi coaching, secara spesifik akan ada goal atau hasil yang dituju, lalu ada ukuran suksesnya seperti apa, dan tindakan-tindakan yang akan dilakukan. Sementara dalam coaching supervision, meskipun ada fokus pembahasan, tapi tidak selalu harus secara spesifik ditentukan.
Seorang coach supervisor akan melakukan eksplorasi dalam sebuah sesi coaching supervision, apa yang diharapkan dari sesi coaching supervision dan coach supervisor.
Namun goalnya tidak harus yang spesifik seperti dalam coaching. Karena dalam coaching supervision adalah refleksi yang terjadi, bagaimana coach belajar dan mendapatkan pelajaran dari proses refleksi tersebut.
Sehingga proses coaching supervision sebetulnya lebih menekankan ke proses refleksi yang terjadi dan dilakukan oleh coach bersama dengan coaching supervisor-nya.
Menjadi coach membutuhkan pembelajaran terus menerus secara berkesinambungan, dan tidak hanya berhenti hanya pada sesi-sesi coaching supervision. Sehingga coaching supervision merupakan proses refleksi yang berkelanjutan terus menerus, seperti yang sub-kompetensi kedua dari kompetensi ICF mengenai, Engages in ongoing learning and development as coach.
Coaching Supervision Focuses on Developing Coaching Capabilities
While both coaching and coaching supervision aim at developing people, coaching can be applied to any area of a person’s life, professionally as well as personally. In contrast, coaching supervision has the sole focus on the development of the coach’s coaching capabilities.
The development of coaching capabilities can include a variety of aspects. A coach supervisor may help you to overcome an acute problem. For instance, you may have been working for three months with a client who nicely identifies a set of actions to take at the end of each coaching session. However, in the next session, she comes up with many reasons why she did not follow through. You feel you have tried everything you could, and you don’t know what to do next.
Apart from dealing with acute problems, developing as a coach also includes developing broader coaching capabilities. For instance, many junior coaches put themselves under enormous pressure to help their clients to get results quickly. However, they realize that this pressure is getting in the way and ultimately makes their session worse. So how can they learn to let go of this pressure and be more at ease and more present during their coaching sessions?
Coaching Supervision membuka ruang untuk mendapatkan ketrampilan dan ilmu baru
Dalam coaching supervision, seorang coach supervisor bisa saja melakukan beragam intervensi, termasuk mengajar, memberitahu dan berbagi pengalaman. Intervensi coaching supervision ini ditemukan dan diperkenalkan oleh John Herron ( 1975 ) dengan tujuan untuk menerapkan pendekatan yang lebih adaptif dan fleksibel untuk membantu coach dalam pekerjaan mereka, selain tentu saja peran fasilitatif.
Coaching Supervision melihat coaching secara sistemik
Dalam model Peter Hawkins yang sangat terkenal, yakni seven-eyed model, coach tidak hanya semata-mata melihat hubungan antara coach dan klien, tapi juga bagaimana coach melihat sistem dirinya sendiri, sistem klien. Dalam konteks organisasi seperti sponsored coaching, ada pihak-pihak yang berperan dalam sistem coaching. Ada pula sistem organisasi, seperti visi, misi, KPI, objektif dst.
Coaching supervision menyentuh ranah tersebut secara luas, melebih hubungan sekadar klien, agenda klien, perusahaan dan kontrak coaching.
Coach Supervision versus Peer Coaching
Di paragraf awal di atas, ada pertanyaan menggelitik, kalau coach menghadapi tantangan dan kesulitan, kenapa nggak bercerita ke orang yang profesinya sama, yakni rekan coach. Selain secara kode etik ICF coach terikat dengan confidentiality untuk tidak bercerita segala sesuatu yang berkaitan dengan klien kepada sesame rekan coach, orang yang diajak bicara juga tidak memiliki kapasitas, keahlian dan kemampuan untuk melakukan supervisi atas tantangan, kesulitan, maupun masalah yang dihadapi coach tersebut.
Alih-alih melakukan supervisi, pembicaraan yang terjadi bisa saja melebar kemana-mana dan menjadi ajang gossip tentang klien
Lalu bagaimana kalau rekan coach yang diajak bicara tersebut merupakan coach supervisor yang sudah mendapatkan pelatihan secara mumpuni dan memiliki kapasitas sebagai supervisor? Tentu saja bisa dilakukan.
Perlu diingat bahwa ketika rekan coach yang melakukan coaching supervision tersebut, rekan coach tersebut bukan lagi sebagai coach, tapi sudah berperan sebagai seorang supervisor.
Sebagai coach supervisor yang mendapatkan training dan akreditasi secara mumpuni, sudah pasti coach supervisor tersebut memiliki keahlian, kapasitas dan kredibilitas melakukan coaching supervision