International Coaching Federation ( ICF ) mendefinisikan coaching sebagai hubungan kemitraan dengan klien dalam sebuah proses kreatif dan memprovokasi pikiran yang memberikan inspirasi kepada klien untuk memaksimalkan potensi baik pribadi maupun professional
Sesi coaching yang efektif membutuhkan hubungan yang baik antara coach dan klien, selain coaching skills dari coach. Tanpa hubungan yang terjalin dengan baik, hampir bisa dikatakan tidak mungkin sesi coaching akan memberikan hasil yang baik buat klien.
Dalam sesi coaching, klien selayaknya memiliki rasa kepercayaan dan kenyamanan yang dalam dengan coach, sehingga dia akan bebas bercerita, mengekspresikan dirinya, menuturkan hal-hal yang mungkin tidak akan dia ceritakan dengan orang lain. Kedekatan antara coach dan klien adalah sesuatu yang wajar, mengingat setting percakapan coaching sudah disepakati bersifat privat, rahasia dan aman buat klien. Dengan adanya kedekatan tersebut, tidak bisa dipungkiri ada kalanya perasaan kedekatan yang intim menyeruak dalam hubungan coach dan klien.
Klien bisa saja ‘berpaling’ pada coach, menjadikan coach sebagai tempat curhat dalam segala hal, dan muncul perasaan ketergantungan pada coach, dan memposisikan hubungan coaching menjadi sesuatu yang sudah berbeda jauh dari perjanjian/kesepakatan di awal
Klien kemudian menganggap coach adalah seperti ‘kakak’nya, ‘ayah’nya, ataupun ‘panutan’nya, sehingga percakapan coaching tidak lagi berada pada ranah seperti definisi coaching di awal tulisan ini, tapi klien mulai beralih menempatkan coach sebagai figur otoritas yang dapat membantu membuat keputusan dalam hidupnya, baik pribadi maupun profesional
Lebih mengkhawatirkan lagi kalau kemudian klien mulai melihat coach dalam perasaan yang berbeda, dimana ada keterlibatan emosi yang kuat di luar ranah profesionalisme pekerjaan coach.
Situasi seperti yang dijelaskan di atas yang terjadi pada klien adalah yang dinamakan sebagai transference. Transference adalah proses psikologi dimana seseorang, dalam hal ini klien, mentransfer perasaannya, pengalamannya, dan emosinya kepada coach.
Apakah kejadian seperti yang diuraikan di atas hanya dapat terjadi pada klien terhadap coach? Bagaimana dengan coach terhadap klien? Sebaliknya, situasi yang sama bisa juga terjadi pada coach.
Saking merasa dekatnya coach terhadap klien, coach menganggap kliennya seperti teman dekatnya, atau keluarganya sendiri, sehingga mengakibatkan perlakuan yang berbeda dari coach. Bisa pula coach berubah peran, bukan lagi sebagai seorang coach, tapi menjadi seorang konsultan, penasihat, konselor atau teman curhat. Situasi dimana coach sudah menggunakan emosi pribadinya, ‘keluar’ dari perannya bertindak sebagai profesional coach, hal ini merupakan countertransference dalam hubungan coaching antara coach dan klien
Mengelola transference dan countertransference dalam coaching
Sebagai coach, penting untuk bisa menjaga batasan-batasan yang wajar dan professional dengan klien. ICF memberikan aturan cukup jelas dalam kode etik bagi profesional coach. Selain secara tegas melarang hubungan romansa dengan klien dalam aturan kode etik buat seorang coach, ICF juga secara implisit dan eksplisit mengatur interaksi coach dengan klien dengan kompetensi ICF baik model yang mengalami pembaruan di akhir tahun 2019 maupun versi kompetensi ICF yang lebih awal.
Coach pernah melakukan refleksi dari waktu apakah hubungan coaching yang tengah berproses dengan klien masih dalam batasan-batasan yang wajar. Apakah proses coaching yang ada masih sesuai dengan peran antara coach dan klien? Atau dalam proses coaching yang tengah berjalan coach sudah mulai berubah peran?
Praktek reflektif seperti ini juga merupakan kompetensi ICF yang kedua, sebagai bagian dari “Embodies a Coaching Mindset “
Be friendly but not friends
Dengan menjaga batasan-batasan profesional, menerapkan mindfulness dan self-awareness merupakan cara-cara terbaik yang dapat diterapkan oleh profesional coach. Bersikap ramah tamah, sopan, fokus pada klien namun tetap menjaga profesionalisme profesi coach dalam berinteraksi dengan klien.
Coach perlu sekali menyadari dari waktu ke waktu interaksi yang dilakukan dengan klien. Apabila misalnya klien mulai mengajak hang-out terlalu sering, berkomunikasi dengan coach di luar sesi coaching terlalu intens, menghubungi coach untuk melakukan tugas-tugas klien dan meminta nasihat yang bersifat privat dan pribadi dan di luar ranah profesi coaching, coach perlu sensitive dan merefleksikan diri. Coach juga perlu membicarakannya dengan klien lebih lanjut tentang apa yang dirasakan dan situasi yang terjadi, sehingga profesionalisme tetap terjaga
Dengan menerapkan hal-hal tersebut di atas, diharapkan coach dapat mengelola hubungan dengan klien secara baik dari waktu ke waktu, dan bekerja secara profesional, serta mendemonstrasikan etika-etika yang baik, sehingga memberikan pelayanan terbaik kepada klien dan ikut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan profesi coach yang sehat.