Perubahan. Sebuah kata yang kerap kita dengar beberapa tahun belakangan ini. Ada yang mengasosiasikan kata ini lebih lanjut dengan disruptif. Eksponensial. VUCA.
Sejak Nadiem Makarim mencetuskan Gojek, unicorn yang valuasinya sekarang dinilai trilinuan rupiah, dan fenomena-fenonema seperti Airbnb, Grab, Traveloka, Bukalapak, kita dibuat terbelalak dengan sebuah kenyataan bahwa sebuah pertumbuhan dan perkembangan tidak melulu harus linear. Apa yang diperlihatkan oleh Gojek, Airbnb, Grab dan provider marketplace lainnya membuktikan bahwa meningkatkan profitabilitas tidak melulu harus berbanding lurus dengan pertumbuhan aset. Pertumbuhan eksponensial ternyata memungkinan, dengan aset dan sumber daya yang lebih sedikit dengan memanfaatkan platform digital dan dukungan ekosistem.
Kita menyadari adanya perubahan di sekiling kita. Kita hidup dan ikut menikmati fasilitas dari perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi di luar kita, di sekeliling kita, dan perubahan itu memberikan fasilitas kenyamanan buat kita
Lalu di akhir tahun 2019 COVID-19 dilaporkan di Wuhan, China. Penyakit yang sampai sekarang masih menakutkan buat semua orang. COVID-19 merubah semua prilaku kita, dari masker yang harus kita kenakan setiap hari sampai dengan kebiasaan lebih sering mencuci tangan dan membawa hand sanitizer kemana-mana
Jadi sebetulnya kita ‘familiar’ dengan perubahan-perubahan. Lalu, kenapa kala perubahan itu datang dari dalam kita, mengapa sebagian orang merasa begitu sulit? Tidakkah cukup fenomena yang terjadi itu membuat kita menyadari bahwa perubahan itu tidak terelakkan?
Ada beberapa perspektif mengenai hal ini. Yang paling fenomenal beberapa tahun ini ketika Charles Duhigg dengan bukunya The Power of Habit dan mengupas tentang Habit dan bagaimana merubah Habit yang telah ada
Duhigg mengatakan di otak kita terdapat bagian bernama ganglia basal yang bertanggung jawab dalam mengendalikan perilaku otomatis. Ganglia basal adalah pusat bagi pengingatan pola dan bekerja berdasarkan pola-pola tersebut. Cara kerja ganglia basal bekerja adalah di awal terbentuknya kebiasaan, otak bekerja keras sepanjang waktu untuk membentuk serangkaian perilaku menjadi kebiasaan, namun setelah perilaku itu diakukan berkali-kali, aktivitas otak menurun. Hal ini terjadi karena adanya perubahan dari serangkaian perilaku menjadi sebuah rutinitas yang sudah otomatis terekam oleh otak, sebagai penggumpalan (chunking) yang menjadi akar terbentuknya kebiasaan.
Kebiasaan juga memberikan manfaat bagi otak, kebiasan merupakan cara otak untuk menghemat energinya dalam melakukan sesuatu sehingga membuat otak bekerja lebih efisien. Ketik kerja otak lebih efisien maka otak bisa berfokus pada hal-hal lain yang lebih besar seperti melakukan inovasi.
Otak juga tidak bisa membedakan mana kebiasaan yang baik dan buruk. Jika kita memiliki kebiasaan buruk dan ingin mengubahnya menjadi kebiasaan baik, maka kita perlu menciptakan rutinitas neurologis baru yang mengalahkan perilaku-perilaku buruk itu. Tidak hanya itu, kita juga harus mampu memegang kendali terhadap lingkaran kebiasaan kita sehingga bisa mendorong kecenderungan-kecenderungan buruk itu.
Faktor-faktor yang akan membentuk kebiasaan adalah : cue [ tanda ], craving [ menginginkan sesuatu dengan intens ], reward [ penghargaan / ganjaran ]
Untuk merubah kebiasaan, Duhigg mengatakan aturan emas dalam merubah kebiasaan adalah menggunakan tanda yang lama dan memberikan ganjaran yang sama dengan kebiasaan lama namun menyisipkan rutinitas yang baru. Menurutnya, perilaku bisa diubah dengan tanda dan reward yang tetap sama, tapi perlu disisipkan rutinitas yang baru.
Dan sering kali rutinitas yang baru itu perlu tekad dan belief yang kuat.
Perspektif yang kedua dari Robert Dilts yang terkenal dengan teori Dilts Pyramid atau Neuro Logical Levels of Systems.
Mari kita lihat piramid Dilts di bawah ini :
Secara sederhana, Dilts menjelaskan, cara bekerja otak yang memiliki tingkatan-tingkatan berbeda dalam memroses sesuatu. Sebagai hasilnya kita memiliki tingkatan yang berbeda dalam pemikiran dan melihat diri kita sendiri.
Kita kita ingin merubah prilaku atau cara berpikir kita, kita perlu melihat tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda ini dan melihat letak permasalahannya
Hal yang sama juga berlaku ketika kita berbicara dalam tatanan dunia korporasi.
Pertama adalah : Lingkungan : Ada dimana kita ? Lingkungan akan memicu terjadinya sebuah perubahan
Kedua adalah : Prilaku : Apa yang akan dilakukan jika ingin meraih hal yang baru? Apa yang akan dilakukan untuk menginisiasi perubahan ?
Ketiga adalah : Kemampuan : Bagaimana kita melakukannya? Dalam konteks organisasi, apakah tim kita memiliki kemampuan untuk melakukannya?
Keempat adalah : Beliefs & Values : Apa pentingnya melakukan perubahan ini? Apa artinya perubahan ini buat kita dan dalam konteks organisasi, buat departemen atau perusahaan kita?
Kelima adalah : Identitas : Siapa diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Dalam konteks organisasi, bagaimana kita ingin unit/departemen kita dilihat oleh orang lain?
Keenam, yang merupakan level tertinggi adalah : Purpose : What is your life purpose? Atau apa tujuan Anda dalam kehidupan ini? Dalam dunia korporasi, hal ini diterjemahkan dalam bentuk visi dan misi perusahaan.
Menurut Dilts, sebuah perubahan yang efektif apabila kita melihat setiap tatatan dari piramid tersebut, mengelolanya dengan baik, dan menyelesaikan setiap tantangan-tantangan yang ada di tatanan piramid tersebut
Akhir kata, kami sertakan quote di bawah ini untuk kita refleksikan bersama :
Nothing Changes if Nothing Changes