It is not hearing that improves life, but the listening….
Mendengar. Sebuah kata kerja yang sangat sederhana. Secara umum kita memiliki dua telinga yang berfungsi sebagai salah satu panca indra untuk mendengar. Secara struktur fisik, telinga manusia normal mampu mendengar bunyi yang memiliki frekuensi 20 sampai 20.000 Hz. Sedangkan menurut tingkat kekerasan suara, intensitas yang bisa didengar manusia adalah 0 sampai 140 dB.
Namun, tentu saja, yang kita akan bahas hari ini bukanlah struktur anatomi telinga yang berfungsi sebagai alat pendengaran. Dalam hal ini bagaimana kita mendengar dengan seksama ketika sedang berkomunikasi dengan lawan bicara kita dalam sebuah pembicaraan.
Dan apabila kita mengaitkannya dalam sebuah sesi coaching, apakah kita lebih banyak mendengar atau lebih banyak berbicara. Apakah kita justru lebih dominan daripada coachee kita? Apakah kita benar-benar mendengar, atau kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar?
Berapa sering kita mendengar lawan bicara kita, staf kita, pasangan kita, anak kita, rekan kerja kita, atasan kita, orang-orang di sekeliling kita, mengatakan kepada kita, “You dont listen!” alias “Anda tidak mendengarkan…”
Sekali lagi, sebuah kata kerja yang sederhana, tapi tidak mudah dilakukan.
Kita cenderung hanya ingin orang mendengarkan kita. Kita lebih cenderung berbicara dan memberitahu, menegur, mengomentari sesuatu, daripada mendengar secara seksama dan mendalam terlebih dahulu sebelum merespons.
Stephen Covey pernah mengatakan,
” Most people do not listen with the intent to understand. They listen with the intent to reply. They’re either speaking or preparing to speak. They’re filtering everything through their own paradigms, reading their autobiography into other people’s lives. “
Dengan kata lain, Stephen Covey mengatakan, bukan saja kebanyakan orang mendengarkan bukan dengan tujuan untuk mengerti, tapi semata-mata ingin merespons dengan jawaban. Dan, respons mereka setelah melewati filterarisasi peta dunia mereka, sesuai dengan pemahaman mereka. Dan peta dunia tersebutlah yang ingin orang-orang sodorkan kepada orang lain ketika merespons.
Lalu, bagaimana melatih diri kita supaya lebih mendengarkan orang lain daripada terus menerus mendengarkan kita berbicara?
Barangkali kita pernah mendengar tips-tips untuk belajar mendengarkan, tapi salah satu cara yang paling efektif adalah mengikuti pelatihan coaching!
Ini bukan promosi. Sudah banyak peserta yang mengikuti sertifikasi coaching, berlandaskan International Coaching Federation ( ICF ) kompetensi mengatakannya kepada kami, betapa belajar coaching merubah diri mereka menjadi pendengar yang lebih baik
Padahal tadinya niat mereka hanya ingin belajar coaching supaya bisa memberikan coaching lebih baik, misalnya staff-nya, koleganya, ataupun buat mendapatkan coaching skills
Tapi ternyata, mempelajari coaching skills malah mentransformasi mereka! Mereka lebih sabar. Lebih toleran. Bisa melihat sisi atau perspektif orang lain jauh lebih dalam. Dan, tentu saja, menjadi pendengar yang jauh lebih baik dari sebelumnya!
Lalu kenapa kompetensi Mendengar dalam coaching bisa merubah seseorang menjadi pendengar lebih baik?
Tentu saja, karena kompetensi coaching ICF menitikberatkan pada respek penuh, tanpa judgment dan label terhadap orang. Dan prilaku dan pola pikir seperti itu terdemonstrasikan dalam butir-butir kompetensi ICF mengenai, “Listen Actively”
Seorang coach, berbasis kompetensi ICF, bukan saja mendengar dengan seksama, tapi juga mendengar bagaiman sesuatu diucapkan, menghubungkan apa yang dikatakan coachee dari menit pertama hingga menit terakhir, dan menyatukannya dalam sebuah kesatuan arti.
Mendengar juga berarti coach membiarkan klien bercerita lewat perspektifnya, lewat peta dunianya, meskipun tidak tidak setuju, karena kita hadir sebagai pendengar bukan untuk setuju atau tidak setuju dengan yang dikatakan coachee. Mendengar juga berarti coach menahan dirinya untuk berkomentar, diam dalam keheningan beberapa kejap dan membiarkan coachee merefleksikan diri dengan penuturannya sendiri.
Coachee berbicara lewat peta dunianya, lewat pengalamannya, lewat sudut pandangnya, dan tidak membutuhkan judgement atau labeling terhadap apa yang dia ceritakan. Inilah mendengar dalam arti sesungguhnya.
Mendengar dalam coaching juga berarti merasakan emosi, enerji, gestur, mimik dan body language dari coachee, karena banyak peneliti komunikasi setuju kalau pada umumnya manusia lebih banyak berbicara lewat non verbal daripada verbal.
Apabila Anda tidak percaya tulisan ini, cobalah Anda mengikuti pelatihan sertifikasi coaching, membuka diri Anda seluas-luasnya, dan lihatlah betapa terkesimanya orang-orang sekeliling dengan perubahan pada diri Anda!